Sunday, December 1, 2019

#Daftar Pelanggar HAM Berat Pasca G30S 1965

PUTUSAN AKHIR MAJELIS HAKIM IPT 1965

Catatan:
Laporan ini dibuat berkaitan dengan keikutsertaan para hakim dalam sidang yang digelar di Nieuwe Kerk, Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 lalu.
Sebelumnya, beberapa bulan menjelang sidang, mereka telah menerima dakwaan dan catatan penuntut, dan juga serangkaian bahan sebagai latar belakang tuntutan. Selama empat hari sidang, mereka mendengar tuntutan yang disampaikan para penuntut secara lisan, kesaksian, dan jawaban pertanyaan dari 20 saksi (diantaranya ada yang memberi kesaksian mereka dengan identitas tersembunyi dengan memakai nama samaran atau di belakang layar tertutup).
Para hakim juga menerima ratusan halaman dokumen sebagai bukti.
Penuntut menyampaikan kasus mereka dalam sembilan tuntutan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan:
  1. Pembunuhan
  2. Perbudakan   
  3. Pemenjaraan   
  4. Penyiksaan   
  5. Kekerasan seksual   
  6. Penganiayaan   
  7. Penghilangan secara paksa   
  8. Propaganda kebencian   
  9. Keterlibatan negara-negara lain

Setelah sidang, semua bahan di atas dan bahan-bahan terkait telah ditelaah, dan menjadi dasar dari laporan ini, yang dipersiapkan dan diedit oleh Helen Jarvis dan John Gittings, dengan bantuan dari Shadi Sadr, Mireille Fanon-Mendes France dan Zak Yacoob, yang juga memberi pertimbangan hukum untuk laporan ini. Laporan ini dimaksudkan untuk memperkuat dan memberi pembenaran yang beralasan untuk kesimpulan para hakim, yang disampaikan di sesi terakhir persidangan pada 13 November 2015 (lihat A3).
Laporan ini dimulai dengan menilik pertanyaan menyeluruh tentang pertanggungjawaban untuk pembunuhan massal dan kejahatan lain, dan juga membahas butir-butir yang dikemukakan penuntut dan dokumen amicus curiae yang diserahkan pada Tribunal, diakhiri dengan serangkaian temuan dan rekomendasi.Namun patut disayangkan pemerintah Republik Indonesia tidak menyambut undangan untuk mengikuti sidang, atau menyerahkan pernyataan kepada Tribunal, sama seperti absennya wakil dari pemerintah-pemerintah Amerika Serikat, Ingrris, dan Australia, yang juga diundang.
Meski demikian, para hakim tetap menyambut baik kesediaan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Perempuan untuk berbicara di persidangan. Selain itu, perlu dicatat juga bahwa Indonesia telah mengambil beberapa langkah penting, walau tidak menyeluruh, untuk menanggapi permasalahan ini sejak Tribunal diadakan, seperti tercantum di Appendix D2.

Daftar istilah dan singkatan
Baperki: Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
BTI: Barisan Tani IndonesiaButerpra: Bintara Urusan Teritorial Pertahanan RakyatDPR: Dewan Perwakilan RakyatET: Eks tahanan politikG 30 S: Gerakan 30 September 1965Gestapu: Gerakan 30 September 1965Gerwani: Gerakan Wanita IndonesiaInrehab: Instalasi RehabilitasiLubang Buaya: Sumur di lapangan udara Halim Perdana Kusuma Angakatan Udara Tentara Nasional Indonesia di Jakarta, tempat ditemukannya mayat para perwira yang diduga dibunuh dan dibuang pada 30 September hingga 1 Oktober 1965.

  1. SIDANG IPT
A1. Pengantar tentang IPT oleh Komite Penyelenggara
IPT 1965 didirikan untuk mengakhiri impunitas terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan (CAH atau crimes against humanity) yang berlangsung di Indonesia selama dan pasca 1965. Kejahatan kemanusiaan ini hampir luput dari sorotan dunia internasional, dan berupaya dibungkam di Indonesia.
Namun film karya Joshua Oppenheimer berjudul ‘The Act of Killing’ atau Jagal pada 2012 telah mengusik kebungkaman internasional ini.
Tepatnya pada Maret 2013, film dokumenter ini dirilis di Den Haag, Belanda, sebagai bagian dari Festival Movies That Matter. Usai pemutaran film tersebut, panitia mengadakan diskusi yang dihadiri 35 orang eksil (Termasuk diantaranya Joshua Oppenheimer, seorang mantan anggota Komnas HAM,  beberapa peneliti dan aktivis.)
Salah satu topik bahasan antara lain, bagaimana caranya mengakhiri impunitas seputar CAH yang dilakukan pasca 1 Oktober 1965? Sementara itu, laporan mengesankan dari Komnas HAM tahun 2012 tentang apa yang terjadi selama dan sesudah tahun 1965 tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia.
Kegagalan pemerintah untuk berusaha mencari solusi nasional untuk kejahatan-kejahatan ini membuat para peserta sidang IPT mengambil keputusan bahwa tekanan internasional diperlukan untuk melawan impunitas yang selama ini dinikmati oleh pelaku kejahatan-kejahatan tersebut, sekaligus memecah kebungkaman dan stigma yang selama ini memperdayai periode sejarah ini.
Wujud terbaik untuk kampanye ini—dalam pemikiran penyelenggara—adalah untuk menggelar Tribunal Rakyat Internasional atau IPT.
Selanjutnya pengacara Hak Asasi Manusia Nursyahbani Katjasungkana ditunjuk menjadi koordinator umum IPT.
Setelah itu, tim kerja skala kecil terbentuk, konsep mulai disusun, Profesor Saskia Wieringa ditunjuk sebagai koordinator riset, dan juga beberapa sekretariat dan tim media di bawah  Lea Pamungkas didirikan di Indonesia dan di Belanda.
IPT 1965 kemudian menjadi badan hukum (dalam bentuk yayasan) pada 18 Maret 2014. Tahun berikutnya, para penuntut dan beberapa orang yang berpotensi duduk di panel hakim mulai dihubungi, tuntutan dipersiapkan, dan sidang digelar. Secara umum, Yayasan IPT 1965 bertujuan untuk memperbaiki sejarah yang cenderung menyepelekan, mentolerir, menyisihkan, dan mengaburkan kejahatan-kejahatan ini.
Terutama terkait pemerkosaan, kejahatan seksual, dan penyiksaan terhadap para tahanan perempuan.
Penderitaan akibat pencabutan sewenang-wenang paspor ribuan Warga Negara Indonesia yang menolak untuk mendukung Pemerintahan Orde Baru seharusnya diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Tujuan Yayasan IPT 1965 adalah:
1.Memastikan pengakuan nasional dan internasional untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama dan sesudah ‘peristiwa 1965’, dan juga keterlibatan beberapa pemerintah asing dalam kampanye teror Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melawan tersangka pendukung Gerakan 30 September 1965
2.Mendorong perhatian nasional dan internasional yang konsisten untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama dan sesudah pembantaian 1965, dan perhatian untuk pemerintah yang tetap tidak aktif untuk menuntut para pelaku, antara lain dengan mengundang Pelapor Khusus PBB untuk urusan HAM masa lalu (United Nation Special Rapporteur on Past Human Rights Violations).
3. Dalam jangka panjang:
a) Membantu dalam proses pemulihan untuk para korban – dan keluarga mereka –  genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia selama dan sesudah 1965. b) membantu untuk menciptakan iklim politik di Indonesia yang mengakui dan menghormati HAM. c) mencegah terulangnya kekerasan terhadap korban genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia selagi dan sesudah 1965, dan memastikan diadakannya persidangan yang adil untuk para pelaku.
4. Menyediakan data untuk publik tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pasca 1 Oktober 1965.
5. Menebarkan harapan bahwa keadilan itu tetap bisa terwujud, dan kejahatan-kejahatan seperti ini tidak akan pernah terulang kembali, serta membantu dalam mewujudkan iklim politik di Indonesia yanng memberikan kekuatan hukum, pengakuan, dan penghormatan terhadap HAM.

Persiapan untuk Tribunal tanggal 10-13 November di Den Haag, telah dilaksanakan sejak 2013 di Belanda dan Indonesia.
Pada 2015, Indonesia memperingati 50 tahun kebungkaman terkait kejahatan-kejahatan ini.
Kurang lebih sebanyak 100 relawan membantu penyelenggaran tribunal ini, termasuk peneliti dari segala penjuru dunia, tim media di Jakarta dan Belanda, dan mahasiswa Indonesia dari berbagai negara di Eropa.
Badan-badan formal dari Yayasan IPT 1965 adalah Dewan Yayasan, Komite Penyelenggara, dan Komite Pengarah Internasional. Saran politik dan hukum yang amat berharga juga diberikan oleh Dewan Penasehat.
Berikut ini adalah daftar badan-badan di atas:
Dewan Yayasan IPT 1965 (Saskia Wieringa-ketua, Sungkono dan Sri Tunruang-bendahara).
  • Komite Penyelenggara dikoordinir oleh Nursyahbani Katjasungkana (koordinator umum), dengan anggota-anggota Sri Tunruang (keuangan), Artien Utrecht, Ratna Saptari, Sri Lestari Wahyuningrum (sekretariat Jakarta), Helene van Klinken (sekretariat Belanda), Annet van Offenbeek (keamanan), dan Saskia Wieringa (penelitian).
  • Komite Pengarah Internasional adalah Saskia Wieringa (ketua), Artien Utrecht (sekretaris), dengan anggota Ratna Saptari (Belanda), Sri Tunruang (Jerman), Jess Melvin (Australia), Sri Lestari Wahyuningrum (Indonesia), Annie Polman (Australia), Dolorosa Sinaga, Reza Muharam, dan Wijaya Herlambang (Indonesia), Mulyandari Alisah (Perancis), Soe Tjen Marching (Inggris).
  • Komite Penyelenggara ditangani oleh dua sekretariat: 1) Di Indonesia/Jakarta dan 2) di Belanda/Den Haag. Sekretariat bertanggung jawab untuk koordinasi kelompok-kelompok kerja berikut:
    1. Media dan komunikasi ( Lea Pamungkas – koordinator), Aboeprijadi Santoso, Joss Wibisono, Arif Kurnia, Theo Pramono, Koes Komo, Linawati Sidarto, Yusuf Sudrajat, Henri Ismail, Victor, Lexy, Eka Hindra, Olien Monteiro.[B] Kampanye dan media kreatif: Dolorosa Sinaga (koordinator), Indra Porhas Siagian, Agnes Indraswari.
    2. Riset dan koleksi data (Nurshaybani Katjasungkana, Saskia Wieringa-koordinator), Sri Lestari Wahyuningrum, Jess Melvin, Annie Pohlman, Wijaya Herlambang dan Ratna Saptari.
– Komite Persiapan Tuntutan: Nursyahbani Katjasungkana (koordinator), Antarini Arna, Rinto, Todung Mulya Lubis, Agung Wijaya, Sri Suparyati, Bahrain dan Alvon Kurnia Palma.
Sekretariat memelihara kontak dengan koordinator negara, Komite Pengarah Internasional dan Dewan Penasehat.
Koordinator negara: Indonesia: YLBHI (sekretariat Indonesia)Belanda: Stichting IPT 1965 (sekretariat Beland)Australia: Jess Melvin dan Annie PohlmanInggris: Soe Tjen MarchingJerman: Sri Tunruang (Aken), Arif Harsana (Munster)Swedia: Tom IljasPerancis: Mulyandari AlisyahBelgia: Elisabeth Ida MulyaniKanada/AS: Ayu RatihSkotlandia: Maria PakpahanMuangthai: Dewi Ratnawulan
Tim penuntut terdiri dari:
1. Dr. T Mulya Lubis sebagai jaksa ketua. Ia adalah anggota dewan Lembaga Bantuan Hukum dan pengacara HAM terkemuka di Indonesia
2. Antarini Arna, SH,LLM. Aktivis HAM.3. Sri Suparyati, anggota KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)4. Bahrein van Halen, SH, MH, anggota LBH.5. Uli Parulian Sihombing, LLM, direktur eksekutif Indonesian Legal Resource Center.6. Agung Wijaya, SH
Silke Studzinsky (ahli kekerasan seksual, pengacara di Tribunal Kamboja 2008-2013).
Panitera: Szilvia Csevar (Netherlands Lawyers Association for Human Rights), dibantu oleh Sunil Pal dan dua pemagang.
STRUKTUR SIDANG
Sidang digelar di Nieuwe Kerk di Den Haag pada 10-13 November 2015. Sidang dibuka oleh koordinator umum IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana. Setelah itu, Jaksa Ketua Todung Mulya Lubis membaca pernyataan pembukaannya dan pengantar dari dakwaan. Panitera membuka setiap sesi, dan mengundang wakil dari pemerintah RI untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Sidang ditutup oleh ketua Yayasan IPT 1965 Saskia Wieringa.
PROGRAM TRIBUNAL
Hari 1: Pembukaan, 10 November 2015
DAKWAAN 1: Pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penuntut: Uli Parulian Sihombing
  1. Saksi mata Martono
  2. Saksi ahli Ferry Putra (nama samaran, nama sebenarnya diketahui oleh panitera)
  3. Saksi ahli Ngati (nama samaran)
  4. Saksi ahli Dr. Leslie Dwyer

DAKWAAN 2: Perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut: Sri Suparyati
  1. Saksi mata Basuki Bowo (nama samaran)
  2. Saksi ahli Dr. Asvi Warman Adam

Hari 2: 11 November 2015
DAKWAAN 3: Penahanan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Uli Parulian Sihombing
  1. Saksi mata Bedjo Untung
  2. Saksi mata Martono
  3. Saksi ahli Dr. Saskia Wieringa
DAKWAAN 4: Penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Bahrain Makmun
  1. Saksi mata Muhammad Pakasi (nama samaran)
  2. Saksi mata Martin Aleida
DAKWAAN 5: Kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Antarini Arna
  1. Saksi mata Kinkin Rahayu (nama samaran, berbicara di balik layar).
  2. Saksi ahli Dr. Saskia Wieringa

Hari 3: 12 November 2015
DAKWAAN 5: Kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (diteruskan dari hari sebelumnya).
DAKWAAN 6: Penindasan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penyitaan paspor
Penuntut Antarini Arna
  1. Saksi mata Soerono Widojo (nama samaran, bersaksi dibelakang layar).
  2. Saksi mata Aminah (bersaksi dibelakang layar).
DAKWAAN 7: Penculikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Sri Suparyati
  1. Saksi mata Astaman Hasibuan
  2. Saksi mata Intan Permatasari (nama samaran, bersaksi di belakang layar).
PENJELASAN TENTANG UPAYA KOMNAS HAM DAN KOMNAS PEREMPUAN
  1. Dr Dianto Bachriadi, komisioner Komnas HAM
  2. Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan.
DAKWAAN 8: Penindasan lewat propaganda kebencian
Penuntut Antarini Arna
  1. Saksi ahli Dr Saskia Wieringa
  2. Saksi ahli Dr Wijaya Herlambang

Hari 4: 13 November 2015
DAKWAAN 9: Keterlibatan negara-negara lain dalam pelaksanaan kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Silke Studzinsky
  1. Saksi ahli Dr Bradley Simpson
  2. Saksi ahli Dr Wijaya Herlambang
Pernyataan penutup dewan hakim, dibaca oleh Hakim Ketua.
A2.  Pernyataan pembukaan oleh para hakim IPT 1965 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia, dibacakan pada pembukaan sidang tanggal 10 November 2015.
Kami menerima penunjukan sebagai hakim di Tribunal ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Bisa dipastikan bahwa peristiwa seputar tahun 1965 masih tetap sangat penting untuk Indonesia dan komunitas internasional.
Kami yakin bahwa penuturan yang paling mungkin dan dapat dipercaya tentang penyebab kejadian 1965 dan sesudahnya harus diidentifikasi. Penuturan ini dibutuhkan untuk mencapai perdamaian yang nyata, langgeng dan adil di Indonesia, termasuk rekonsiliasi dan kompensasi.
Setelah ini, ada kemungkinan untuk memastikan apakah kejahatan yang telah dilakukan, meski telah sekian tahun yang lalu, harus ditindak melalui proses hukum formal atau dengan cara-cara lain.
Temuan kami bisa memberi dorongan untuk pembentukan struktur atau proses yang konkrit, seperti komisi kebenaran, dan implementasi dari rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM.
Kegagalan sampai sekarang untuk mewujudkan proses-proses seperti di atas telah menciptakan kesenjangan antara apa yang telah terjadi, dan kemungkinan makin kecil bahwa mereka yang bertanggung jawab bisa diadili, dan keadilan untuk para korban dan masyarakat Indonesia bisa terlaksana.
Misi Kami adalah sebisa mungkin menutup kesenjangan di atas.
A3. Pernyataan penutup dari para hakim IPT 1965 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia, dibacakan pada penutupan kesaksian pada tanggal 13 November 2015.
Para hakim tribunal ini ditunjuk oleh Yayasan IPT 1965 untuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia, mengevaluasi pergolakan dan kekerasan yang melanda Indonesia selama dan pasca September-Oktober 1965, menentukan apakah kejadian-kejadian tersebut termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengemukakan kesimpulan apakah pemerintah Indonesia dan atau pemerintahan lain harus mengemban tanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut, dan memberikan rekomendasi tentang apa yang bisa diupayakan demi terciptanya kedamaian yang adil dan langgeng, serta kemajuan sosial di Indonesia.
Para hakim menyesalkan bahwa pemerintah Indonesia dan pemerintah-pemerintah negara lain yang telah diundang tidak memberi masukan di Tribunal ini.
Pernyataan ini dibuat pada 13 November 2015 di akhir kesaksian oleh korban dan saksi ahli yang berlangsung selama empat hari, mempertimbangkan latar belakang sejarah, bahan riset, tulisan-tulisan, dan opini, seperti:

  1. Pernyataan Komnas HAM pada 23 Juli 2012 tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966.
  2. Laporan Komnas Perempuan tahun 2007 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban 1965.
  3. Pernyataan penutup oleh Komite HAM PBB tahun 2013, yang menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran HAM di Indonesia di tahun 1965 dan sesudahnya, pengulangan keprihatinan ini di tahun 2015, dan juga keprihatinan yang dinyatakan Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
Latar belakang sejarah termasuk bahan mengenai pemerintah Indonesia sebelum kejadian 1965, narasi tentang kejadian-kejadian ini dan dampaknya, tahun-tahun diktatorial Suharto sampai penghujung abad ke 20, era konstitusional reformasi sesudah jatuhnya Suharto, dan juga tahun-tahun sesudah reformasi.
Para hakim terutama memperhatikan kenyataan bahwa tidak ada bahan terpercaya yang memperdebatkan terjadinya peristiwa pelanggaran berat terhadap kemanusiaan ini, adanya perundang-undangan tentang kebenaran dan rekonsiliasi sebagai upaya untuk mengakui bahwa peristiwa ini memang terjadi, tidak adanya penyangkalan dari pemerintah Indonesia yang manapun tentang kejadian-kejadian ini, dan janji dari Presiden Joko Widodo bahwa pelanggaran-pelanggaran ini akan ditinjau. Semua bahan memperlihatkan tanpa keraguan pada para hakim bahwa pelanggaran-pelanggaran berat ini memang terjadi.
Para hakim menganggap bahwa tuduhan para penuntut mengenai pembunuhan dan pembunuhan massal terhadap puluhan ribu orang yang kejam dan mengerikan, penahanan tak berdasar terhadap ratusan ribu orang tanpa proses peradilan untuk kurun waktu yang lama dalam kondisi penuh sesak, dan perlakuan tak berperikemanusiaan dan penyiksaan yang kejam terhadap para tahanan dan kerja paksa yang bisa dikategorikan dalam perbudakan, semuanya berdasar.
Juga telah ditunjukkan bahwa kejahatan seksual, terutama terhadap perempuan, terjadi secara sistematis dan berkala, terutama dalam periode 1965-1967. Banyak lawan politik dilecehkan dan diasingkan, dan ribuan orang – yang menurut propaganda kebencian – dianggap tidak cukup mendukung rezim Suharto, lalu mereka hilang.
Semua ini dibenarkan dan didukung oleh propaganda yang bertujuan untuk menciptakan doktrin palsu bahwa mereka yang menentang rezim militer adalah orang-orang yang tidak bermoral dan bejad.
Telah dipastikan juga bahwa pemerintah Indonesia, dalam hal ini militer dan polisi, selama periode tersebut di atas, melakukan dan mendorong terjadinya pelanggaran berat HAM secara sistematis dan meluas.
Para hakim juga yakin bahwa semua ini dilakukan untuk tujuan politik: Menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan semua yang diduga menjadi anggota atau simpatisannya, dan orang-orang lain termasuk loyalis Sukarno, aktivis buruh, dan guru.
Rancangan ini juga dimaksudkan untuk menopang rezim diktatorial yang kejam yang telah sepatutnya ditolak oleh rakyat Indonesia.
Tidak dapat diragukan bahwa kejadian-kejadian ini, baik satu persatu maupun kumulatif, termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, baik dalam hukum internasional maupun dilihat dari nilai-nilai dan kerangka hukum di era reformasi yang diakui oleh masyarakat Indonesia pada 17 tahun yang lalu.
Tribunal ini telah mendengarkan kesaksian yang rinci dan menyentuh dari korban dan keluarga mereka, dan juga kesaksian dari ahli.
Kesaksian ini dilihat oleh para hakim sebagai bagian yang amat kecil dari keseluruhan yang terjadi: beberapa contoh nyata, mencolok dan menyakitkan dari penghancuran kemanusiaan dari mereka yang berdiri di depan, dan juga pemusnahan kemanusiaan dari bagian yang cukup besar dari masyarakat Indonesia.
Para jaksa berargumen bahwa pemerintah-pemerintah lain telah membantu rezim kejam Suharto untuk mencapai semua di atas dengan tujuan untuk terlaksananya orde internasional tertentu dalam konteks Perang Dingin. Para hakim akan membawa ini dalam keputusan akhir mereka.
Bahan yang diajukan pada panel hakim mungkin dapat menjadi bukti bahwa kejahatan-kejahatan berat lain telah dilakukan.
Isu ini juga akan dibawa ke keputusan akhir. Para hakim cukup puas dengan kesimpulan yang telah mereka ambil untuk mengungkapkan ini kepada masyarakat umum dengan penuh kepercayaan. Tapi Kami masih perlu lebih banyak waktu untuk menyusun secara rinci dasar dari kesimpulan kami.
Dalam beberapa bulan mendatang, Kami akan menyerahkan keputusan akhir dengan mendasari setiap kesimpulan dan opini dengan nalar.
Menurut para hakim, pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan, karena rantai komando terorganisir dari atas sampai ke bawah dalam badan-badan institusi negara. Walau Indonesia telah melewati perubahan yang penting dan positif sejak 1998, termasuk pentingnya HAM dalam pemerintahan, ini belum menciptakan kondisi di mana pemerintahan pasca 1998 benar-benar menangani pelanggaran HAM di masa lalu yang berat dan sistematis.
Di samping kesimpulan di atas, Tribunal juga yakin – berdasarkan bukti yang disampaikan di persidangan – bahwa banyak kebohongan tersirat dalam bentuk propaganda 1965 yang memotivasi hilangnya kemanusiaan dan pembunuhan ribuan orang.
Yang sangat penting adalah pernyataan yang diulang-ulang bahwa para jenderal dikebiri, meski telah lama disangkal oleh laporan autopsi, dan yang telah diketahui pemerintah Indonesia selama bertahun-tahun.
Presiden dan pemerintah Indonesia bertugas untuk segera mengakui ini sebagai suatu kebohongan, meminta maaf tanpa syarat untuk kebohongan yang telah dipublikasikan, memulai penyelidikan, dan menuntut para pelaku yang masih hidup ke pengadilan. Tribunal ini berpikir bahwa Presiden ini tentu akan melakukan semua ini sesuai dengan janjinya saat pemilihan umum.
Arsip juga harus dibuka, dan kebenaran yang sesungguhnya tentang kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus dipaparkan.
Dalam hal ini, anggota Tribunal mencatat bahwa Komnas HAM telah menggelar penyelidikan di tahun 2008, dan pemerintah Indonesia telah menerima laporan serta rekomendasi tersebut. Tapi pemerintah belum menerapkan rekomendasi-rekomendasi di atas, dan menurut kami pemerintah harus segera melaksanakan rekomendasi tersebut. Rekomendasi-rekomendasi ini juga termasuk ganti rugi setimpal untuk para korban.
Kami memuji Yayasan dan banyak orang lain yang telah memberi waktu dan tenaga, juga menyumbangkan dana dan sumber daya lain untuk Tribunal ini. Tanpa keterlibatan dan tekad banyak pihak, Tribunal seperti ini tidak akan mungkin terlaksana. Kami percaya bahwa upaya mereka akan diganjar dengan tanggapan nasional dan internasional yang setimpal.
Mireille Fanon-Mendes France, Cees Flinterman, John Gittings, Helen Jarvis, Geoffrey Nice , Shadi Sadr , Zak Yacoob.
B. LAPORAN PARA HAKIM

Politik dan Sejarah PKI

Protes Masyarakat atas Kenaikan Harga BBM: Bisa Malah Merugikan Rakyat

Protes Masyarakat atas Kenaikan Harga BBM: Bisa Malah Merugikan Rakyat Terjadi gelombang protes masyarakat https://youtu.be/_VIELTIE1i8  se...